Kemarin, entah kapan, mungkin
kemarinnya lagi, salah satu teman saya cerita ke saya.
Dia curhat ke saya tentang
hubungannya dengan kekasihnya. Dia sudah menjalin hubungan 2 tahun. Tiba-tiba
dia merasa ada yang perlu difikirkan lagi, bukan soal lama nya hubungan
tersebut. Tapi soal laki-laki itu sendiri.
Dia adalah social networker,
twitter addict. Hampir semua akun twiter orang terkenal di follow sama dia,
lalu dia me-retweet statement yang menurutnya keren.
Lalu menurutnya, kebimbangan
mulai menghampiri. Bimbang dengan kekasihnya. Bimbang dengan, maaf kalo boleh
agak kasar saya menyimpulkan, dia bimbang dengan kredibilitas kekasihnya. Dia bimbang
dengan kemampuan kekasihnya. Dan pada akhirnya dia ragu dengan kekasihnya
karena begitu banyak statement di twitter tentang tolok ukur lelaki idaman
dunia akhirat (mungkin). Menurut si akun ini, lelaki sejati itu seperti ini. Menurut
si akun itu, lelaki yang baik itu seperti itu. Lalu dia meminta pendapat saya. Saya
Cuma tersenyum. Saya senyum-senyum sendiri. Dalam hati.
Bagi saya, cinta itu bukan
janji-janji yang melambung dan kata yang berbunga-bunga. Cinta itu bibit, harus
ditanam dulu, menggunakan pupuk yang bagus, ada lahan, jangan lupa air,
secukupnya. Perlu waktu, kadang layu, namun dengan perbaikan lahan atau pupuk,
tanaman itu akan bertunas kembali. Lalu menyiramnya secukupnya. Begituah siklusnya.
Agak membosankan, namun kalau kita sudah melihat betapa indahnya bunga yang
dihasilkan, atau buah yang dihasilkan, kita akan berdecak kagum dan tidak
pernah menyesali pernah menanam tanaman tersebut walaupun sulit.
Begitulah menjalani komitmen. Bukan
hanya kita harus menuntut pasangan kita untuk begini, begitu, tapi kita juga
mengizinkan dia untuk berproses.
Terkadang social media
memberikan dampak negatif. Semua orang mudah terprovokasi tanpa bisa mengerti
apa yang sedang ia pikirkan dan apa yang diperjuangkan. Semua menjadi mudah dan
simple hanya dengan sebuah statement di twitter. Kita jadi terpengaruh. Gelap mata
dalam memandang suatu permasalahan.
Kalau di twitter berkata lelaki
baik adalah lelaki yang seperti ini, lalu saat pasangan kita tidak seperti itu,
maka ia dianggap bukan lelaki yang baik.
“Yang menjalani hubungan itu
kamu. Kamu yang “jauh” lebih mengerti pasanganmu ketimbang seonggok statement twitter
yang kamu saja tidak kenal dengan penulisnya. Kalau dia bukan lelaki baik, mana
mungkin kamu bisa berjalan sejauh ini. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Bukan
berarti saya melarang kamu follow akun di twitter, tapi belajar untuk menelaah.”
Kalau kamu mendambakan
laki-laki yang tampan, apakah kamu cantik untuk berdampingan dengannya?
Kalau kamu mendambakan
laki-laki yang kaya, apakah kamu memang berasal dari keluarga kaya untuk sejajar
berdampingan dengannya?
Kalau kamu mendambakan
laki-laki yang baik, apakah kamu juga wanita baik untuk berdampingan dengannya?
Kalau kamu mendambakan
laki-laki yang bisa menjadi imam yang baik, apakah kamu juga wanita yang bisa
menjadi ma’mum yang baik?
Kalau kamu mendambakan
laki-laki yang solatnya tepat waktu, apakah kamu juga wanita yang solatnya
tepat waktu?
Kalau kamu mendambakan
laki-laki yang menundukkan pandangannya, apakah kamu juga wanita yang selalu
menundukkan pandangannya?
Saya, kamu, teman saya,
siapapun, kita semua belajar.
Terkadang kalau saya sedang
malas membaca Al-Qur’an atau malas solat tepat waktu, pasti saya berfikir
jangan-jangan jodoh saya juga sedang malas baca Al-Qur’an dan solat tepat waktu
lagi.
Well, jangan mudah terpengaruh
media. Kamu yang lebih tahu pasanganmu, sehebat apapun kata-kata dari akun terkenal,
tapi akun itu tidak pernah mengenal pasanganmu.
Karena kita tidak bisa
men-generalisasikan orang.