Sabtu, 23 Maret 2013

perfectness



Kemarin, entah kapan, mungkin kemarinnya lagi, salah satu teman saya cerita ke saya.
Dia curhat ke saya tentang hubungannya dengan kekasihnya. Dia sudah menjalin hubungan 2 tahun. Tiba-tiba dia merasa ada yang perlu difikirkan lagi, bukan soal lama nya hubungan tersebut. Tapi soal laki-laki itu sendiri.

Dia adalah social networker, twitter addict. Hampir semua akun twiter orang terkenal di follow sama dia, lalu dia me-retweet statement yang menurutnya keren.
Lalu menurutnya, kebimbangan mulai menghampiri. Bimbang dengan kekasihnya. Bimbang dengan, maaf kalo boleh agak kasar saya menyimpulkan, dia bimbang dengan kredibilitas kekasihnya. Dia bimbang dengan kemampuan kekasihnya. Dan pada akhirnya dia ragu dengan kekasihnya karena begitu banyak statement di twitter tentang tolok ukur lelaki idaman dunia akhirat (mungkin). Menurut si akun ini, lelaki sejati itu seperti ini. Menurut si akun itu, lelaki yang baik itu seperti itu. Lalu dia meminta pendapat saya. Saya Cuma tersenyum. Saya senyum-senyum sendiri. Dalam hati.

Bagi saya, cinta itu bukan janji-janji yang melambung dan kata yang berbunga-bunga. Cinta itu bibit, harus ditanam dulu, menggunakan pupuk yang bagus, ada lahan, jangan lupa air, secukupnya. Perlu waktu, kadang layu, namun dengan perbaikan lahan atau pupuk, tanaman itu akan bertunas kembali. Lalu menyiramnya secukupnya. Begituah siklusnya. Agak membosankan, namun kalau kita sudah melihat betapa indahnya bunga yang dihasilkan, atau buah yang dihasilkan, kita akan berdecak kagum dan tidak pernah menyesali pernah menanam tanaman tersebut walaupun sulit.

Begitulah menjalani komitmen. Bukan hanya kita harus menuntut pasangan kita untuk begini, begitu, tapi kita juga mengizinkan dia untuk berproses.

Terkadang social media memberikan dampak negatif. Semua orang mudah terprovokasi tanpa bisa mengerti apa yang sedang ia pikirkan dan apa yang diperjuangkan. Semua menjadi mudah dan simple hanya dengan sebuah statement di twitter. Kita jadi terpengaruh. Gelap mata dalam memandang suatu permasalahan.
Kalau di twitter berkata lelaki baik adalah lelaki yang seperti ini, lalu saat pasangan kita tidak seperti itu, maka ia dianggap bukan lelaki yang baik.

“Yang menjalani hubungan itu kamu. Kamu yang “jauh” lebih mengerti pasanganmu ketimbang seonggok statement twitter yang kamu saja tidak kenal dengan penulisnya. Kalau dia bukan lelaki baik, mana mungkin kamu bisa berjalan sejauh ini. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Bukan berarti saya melarang kamu follow akun di twitter, tapi belajar untuk menelaah.”

Kalau kamu mendambakan laki-laki yang tampan, apakah kamu cantik untuk berdampingan dengannya?
Kalau kamu mendambakan laki-laki yang kaya, apakah kamu memang berasal dari keluarga kaya untuk sejajar berdampingan dengannya?
Kalau kamu mendambakan laki-laki yang baik, apakah kamu juga wanita baik untuk berdampingan dengannya?
Kalau kamu mendambakan laki-laki yang bisa menjadi imam yang baik, apakah kamu juga wanita yang bisa menjadi ma’mum yang baik?
Kalau kamu mendambakan laki-laki yang solatnya tepat waktu, apakah kamu juga wanita yang solatnya tepat waktu?
Kalau kamu mendambakan laki-laki yang menundukkan pandangannya, apakah kamu juga wanita yang selalu menundukkan pandangannya?

Saya, kamu, teman saya, siapapun, kita semua belajar.

Terkadang kalau saya sedang malas membaca Al-Qur’an atau malas solat tepat waktu, pasti saya berfikir jangan-jangan jodoh saya juga sedang malas baca Al-Qur’an dan solat tepat waktu lagi.
Well, jangan mudah terpengaruh media. Kamu yang lebih tahu pasanganmu, sehebat apapun kata-kata dari akun terkenal, tapi akun itu tidak pernah mengenal pasanganmu. 
Karena kita tidak bisa men-generalisasikan orang.  




Kamis, 21 Maret 2013

Have You Ever?




Have you ever?

Pernah gak sih kita ngerasa jadi orang paling sengsara sedunia? Jadi orang paling menyedihkan? Jadi orang paling gak berguna sedunia?

Pernah gak sih kita merasa akan menjadi bahagia kalo kita punya gadget-gadget keluaran terbaru?
Kalo kita kekampus pake baju-baju branded?
Kalo kita kekampus gak kepanasan karena bawa mazda2 warna merah?

Pernah gak sih ngerasa kita akan bahagia kalo kita berteman sama si dia yang terkenal, si dia yang cantik, si dia yang kaya, si dia yang ganteng?
Pernah gak sih kita berfikir kita akan bahagia kalo kita sekolah di sekolah itu yang terkenal, dikampus itu yang terkenal, atau pernah gak sih terbersit di otak kita

“coba kalo aku sepintar dia, pasti aku...”
“coba kalo ortu gue kaya ortu nya dia pasti gue bakal punya...”
“coba kalo otak gue kaya dia, hmmm pasti gue bakal jadi...”

Atau pernah gak sih kita mikir
kalo aja kulit gue perawatan  kayak dia”
“ kalo aja alis gue kayak dia, mata gue, hidung gue, bibir gue, kayak dia”

Atau pernah gak sih –walaupun sesekali- kita menggerutu dalam hati
“yailaah, duit jajan Cuma segini, yailaah ortu gue gak banget sih, minta ini gak dikasih, minta itu gak dikasih”
atau kita akan merasa bahagia kalau kita sudah pernah kesini, ke tempat itu, kesana

Sementara...

Mungkin diluar sana banyak sekali orang yang menginginkan berada diposisi kita sekarang

Tugas kita Cuma satu, bersyukur. Selesai

Kita sekarang, apapun keadaan kita, seperti apa latar belakang keluarga kita, apapun yang melekat didalam diri kita, Tuhan Cuma minta satu hal

God just asks us to be the best version of ourselves

Apakah kita lupa sebagai umat muslim, beberapa ribu tahun yang lalu, ada seorang pilihan Tuhan, manusia pilihan Tuhan, manusia suci, manusia yang dijamin masuk istanaNya, yang kita belum pernah bertemu dengannya, yang mendoakan kita, memikirkan kita, disela sakaratul maut nya, beliau berkata “Ummatku, Ummatku, ya Ummatku”

Keadaan kita sekarang, bukan karena kelalaian kita dimasa lalu, bukan karena kebodohan kita dimasa lalu, bukan karena kecerobohan kita dimasa lalu, tapi karena Tuhan yang menempatkan kita ditempat terbaik menjadi kita yang sekarang ini

Melangkah maju kedepan, jangan lupa siapkan langkah untuk kesebelah kanan, siapkan langkah kesebelah kiri, dan setengah langkah kebelakang untuk sesekali menengok kebelakang, karena terkadang mungkin Tuhan tidak mengizinkan kita untuk melangkah kedepan, karena Ia menyiapkan sesuatu yang sangat spesial dilangkah sebelah kiri, atau Ia yakin bahwa langkah sebelah kanan lebih baik untuk kita, karena terkadang Ia ingin mengetahui seberapa kita mengingatNya disela langkah kaki kita.


*bukan untuk menggurui, hanya ingin berbagi, bahwa segala sesuatu dibumi ini sudah seimbang, tapi jika berbagi dan melangkah sesama, akan menyeimbangkan



Selasa, 19 Maret 2013

Ibu Rumah Tangga? Atau Berkarir




Ibu rumah tangga dan berkarir adalah dua pekerjaan yang sangat menarik. Menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan mulia, namun betapa hebatnya jika seorang wanita juga berkarir disamping menjadi seorang ibu rumah tangga. Disini saya tidak akan membandingkan antara keduanya, namun saya hanya berkaca pada keluarga saya.

Tugas seorang wanita adalah mengurus rumah tangga. Membesarkan anak-anaknya karena rumah adalah sekolah pertama bagi seorang anak. Wanita harus pintar memasak, mencuci pakaian, menyetrika, membereskan rumah, walaupun memiliki pembantu adalah sebuah pilihan yang tidak salah. Menjadi perhiasan bagi suaminya. Menyediakan minum saat suaminya pulang kerja. Mengajarkan anak-anak mengaji, membaca, menulis, melihat perkembangan anak-anak dan yang paling penting menyusui anaknya sampai usia 2 tahun. Coba kita bayangkan, semua pekerjaan yang saya sebutkan diatas adalah pekerjaaan yang tidak mudah. Belum lagi masih banyak pekerjaan lain yang tidak disebutkan. Saya pikir menjadi seorang ibu rumah tangga itu sangat luar biasa. Mengemban tugas besar yang datangnya langsung atas perintah Tuhan.

Well, bagaimana dengan seorang ibu yang memilih untuk berkarir?
Bagaimana mungkin seorang wanita membagi aktivitas berkarir dengan kewajibannya menjadi seorang ibu rumah tangga?

Sebelumnya saya definisikan dulu arti dari berkarir.

Saya mengambil definisi dari penulis favorit saya, Rene Suhardono. Menurutnya, antara pekerjaan dan karir itu sangat berbeda. Pekerjaan adalah alat bagi organisasi untuk mencapai tujuan tertentu dan alat bagi individu untuk terus tumbuh sebagai pribadi dan profesional. Sementara karir adalah mengenai diri sendiri. Karir bicara soal pemenuhan kebahagiaan dan ketercapaian (fulfillment).

Dari definisi diatas, saya bisa menyimpulkan bahwa karir itu passion kita. Kita tidak akan merasa terbebani sekecil apapun pekerjaan kita, sekecil apapun gaji yang didapat kalau pekerjaan itu merupakan passion kita.
Saya berkaca pada ibu saya.

Ibu saya bukanlah seorang ibu rumah tangga. Ibu saya memiliki dua pekerjaan. Berkarir dan menjadi seorang ibu rumah tangga seutuhnya. Betapa tidak, beliau bekerja dari pukul 8 a.m sampai pukul 4 p.m tanpa seorang pembantu. Pagi-pagi ibu saya sudah rapi, sudah membuat masakan untuk keluarga, ibu saya sudah cantik, memakai bedak, lipstik, eyeshadow dan sebagainya. Lalu berpakaian hem atau blazer dan celana bahan. lalu beliau berangkat ke kantor. Saat jam istirahat, beliau pulang untuk menyusui anak-anaknya, karena kantor dekat dengan rumah, lalu kembali bekerja. Sepulangnya, ibu saya memasak lagi untuk makan malam, tanpa melupakan segelas teh untuk ayah saya yang dibuatnya sendiri tanpa seorang pembantu. Saya tidak pernah menggunakan jasa guru privat. Ibu saya langsung yang mengajarkan saya membaca alfabet. Mengajari merangkai kata, membuat kalimat, menulis. Sampai saya beranjak dewasa, saya tidak pernah absen untuk sharing tentang apapun yang terjadi dalam hidup saya. Mulai tentang sekolah, kehidupan, ataupun percintaan. 8 jam waktu yang dihabiskan ibu saya dikantor tidak pernah membuat hubungan saya dan ibu saya merasa terbatasi. Saya sangat nyambung dengan ibu saya. Ibu saya tahu model pakaian apa yang sedang in, ibu saya paham tentang social media, ibu saya sangat paham kalau saya meminta pendapat.

Ibu saya tidak pernah menghabiskan waktu untuk membicarakan apakah tetangga sebelah baru membeli kulkas, mesin cuci, laptop, karena waktunya sudah habis untuk dikantor dan menjadi seorang ibu rumah tangga seutuhnya. Bahkan, kalau atap rumah ada yang bocor, ibu saya yang langsung memperbaikinya. Ibu saya sangat pandai dalam berkomunikasi dengan orang lain karena beliau terbiasa bertemu dengan berbagai jenis orang dikantor. Ibu saya juga pandai mengatur keuangan, tidak serta-merta menghabiskannya begitu saja karena beliau paham benar bagaimana ‘rasanya’ mencari uang.

Ibu saya mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan tetap berkarir bahkan tanpa seorang pembantu sekalipun. Ibu saya tidak hanya bermanfaat untuk keluarga saja, namun juga mampu berkontribusi bagi sesama lewat berkarir.

Well, ladies. Berkarir bukan berarti kita melupakan tugas utama kita menjadi seorang ibu rumah tangga. Justru berkarir membuat kita lebih pandai dalam mengatur waktu, mengatur keuangan tanpa sedikitpun kehilangan momen berharga bersama keluarga. Justru berkarir membuat kita banyak belajar melalui orang banyak yang nantinya berguna untuk mencerdaskan masa depan karena seorang ibu yang cerdas akan menghasilkan anak-anak yang cerdas.