Kamis, 18 Oktober 2012

Bersama Kesulitan Ada Kemudahan


Kupandangi rumah elegan dan mewah itu lekat-lekat. Tampak besar dan luas. Asri tentunya. Tak terasa butir air mata menetes perlahan. Kuseka menggunakan sapu tangan beludru berwarna biru toska. Ah, betapa semuanya akan berakhir. Kuhirup udara dalam-dalam seraya menghampiri pembeli rumah tersebut.
“ Saya pamit dulu Bu” ucapku lirih penuh arti seraya melemparkan senyum seadanya.
“ Mbak yakin akan menjual rumah ini? Saya sangat senang bisa membeli rumah ini. Tapi sepertinya ada sesuatu yang salah ya?” tanya pembeli itu ingin tahu. Aku hanya menggeleng ramah dan setelah beberapa saat kulihat mbok Las membantuku mengeluarkan dua kopor besar. Kuhampiri beliau yang tertatih-tatih
“ Mbok maaf ya, aku sayang banget sama mbok tapi keadaannya seperti ini. Aku ga bisa berbuat apa-apa” ucapku lirih sambil menyeka air mata mbak Las yang kian membanjiri pipinya yang sedikit keriput.
“ Mbok tidak apa-apa kok Non. Bukan soal mbok tidak punya penghasilan lagi tapi mbok benar-benar terlanjur sayang sama Non. Non Senja sudah seperti anak Mbok sendiri.” Ucap Mbok Las seraya memeluk diriku. Aku merasakan kehangatan seorang Ibu. Mbok Las lah yang selama ini menjagaku seperti anaknya sendiri.
“ Mbok ini ada sedikit uang dari tabungan aku, terima ya Insya Allah bermanfaat buat keluarga. Salam dari Umi. Katanya Umi minta maaf.”
“ Tidak ada yang salah kok Non. Semua adalah kehendak Allah yang penting kita sudah berusaha. Salam balik buat Umi sama Abi di Jakarta. Mbok percaya Abi Non tidak seperti apa yang orang-orang pikirkan. Mbok mohon pamit karena keretanya sudah mau berangkat. Maaf tidak bisa mengantar Non Senja kekontrakan yang baru. Assalamualaikum” papar Mbok penuh arti. Hari itu adalah hari terakhir aku memandang Mbok, pengganti Umi selama aku di Malang, dan ini juga merupakan awal baru hidupku. Awal dari segala bentuk keadaanku yang sekarang ini. Tanpa Mbok Las, tanpa rumah nyaman untuk belajar, tanpa mobil yang selama ini memudahkanku selama di Malang, tanpa segala bentuk kenyamanan fasilitas lainnya.
            Tak ada yang kusesali dari semua takdir Sang Khalik ini. Sama sekali tidak karena allah selalu menjanjikan bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Benar-benar bersama. Bukan setelah kesulitan ada kemudahan. Kuseka air mata pengecutku ini. Kuawali semangat melangkahkan kakiku menuju kontrakan yang baru walau hati perih. Segalanya akan baik-baik saja karena Allah selalu bersama hamba yang selalu bersyukur.
            Setelah sampai dikontrakan, aku melepas lelah dan melepas beban yang menghantui otakku. Kontrakan yang kutempati sekarang jauh lebih kecil dengan rumahku yang dulu. Namun aku baru sadar, betapa dikontrakan para akhowat ini kutemui kekeluargaan yang tak kutemui ketika aku tinggal sendiri. Betapa pertemanan ini bukan karena kaya atau walaupun miskin, bukan karena cantik atau walaupun buruk, juga bukan karena  pintar atau walaupun bodoh, tapi karena Allah. Subhanallah, tak ada kata yang jauh leebih indah selain kata karenaMu. Dan disini kutemukan sahabat yang cintanya melebihi cinta untuk dirinya sendiri. Sekarang aku baru sadar bahwa inilah kemudahan Allah yang membersamai segala kesulitan yang Allah uji untukku. Aku selalu merindukan Umi dan Abi di sana. Betapa mereka sedang berjuang atas ujian terberat yang Allah kasih. Aku ingin berada disamping mereka. Aku ingin memeluk mereka seraya berkata bahwa Allah tidak akan pernah menguji hambanya diluar batas kemampuannya tapi apa daya, aku tak bisa meninggalkan perkuliahan yang benar-benar padat. Ditambah lagi sebentar lagi akan ujian akhir semester. Satu hal yang bisa kupersembahkan untuk menguatkan Umi dan Abi di Jakarta, doa dari aku yang tiada pernah terputus.
            Pagi itu sebelum perkuliahan kusempatkan untuk mampir ke ATM mengambil uang karena uangku benar-benar telah habis. Betapa terkejutnya aku ketika melihat saldoku tak mencukupi. Badanku gemetar hebat. Dari kemarin aku belum makan sama sekali, untungnya ada piket masak dikontrakan. Namun dengan apa aku membayar biaya kontrakan, makan dan perkuliahan? Berat rasanya kalau harus meminta pada Umi dan Abi disana sementara mereka sedang dalam kesusahan. Otakku berpikir keras, namin sia-sia saja. Kekalutan telah menyelimutiku. Tak mungkin aku pasrah pada keadaan seperti ini. Ya Allah, betapa selama ini aku manja sekali, tidak bisa berbuat apa-apa selain meminta beasiswa pada Umi dan Abi. Kujatuhkan diriku pada bangku taman kampus. Akhirnya aku paham harus kemana aku sekarang.
            Dengan dibantu kakak seniorku mengurusi berkas-berkas, akhirnya aku mendapatkan beasiswa penuh dari pihak rektorat mengingat IPK ku selalu Cum Laude dan keadaan orang tuaku yang tidak memungkinkan lagi untuk membiayai perkuliahanku yang lumayan mahal.
            Akhirnya aku bisa sedikit bernafas lega. Setelah cerita panjang lebar dengan Murabbiyahku tentang apa yang terjadi, akhirnya beliaulah yang bisa meneguhkan batinku
“ Astaghfirullah, sabar ya Dik, Insya Allah, Allah punya rencana lain untuk keluarga Anti. Ingat, Inna ma’al ‘usri yusro.” Perkataan mbak Nina begitu mengena dihatiku. Betapa teduhnya memandang wajah anggun murabbiyahku ini. Sekarang aku makin yakin bahwa Allah sedang mengujiku, Ia sedang mengangkat derajatku jika aku bisa melewati ujian ini.
            Sore itu setelah selesai praktikum, aku mendapat tawaran mengajar privat matematika dan IPA kelas tiga SMA. Gajinya lumayan untuk membiayai kontrakan dan makan seadanya. Kadang aku disuruh untuk mengisi kajian kemuslimahan setiap hari jumat dengan imbalan makan siang, benar-benar Allah selalu menjanjikan kemudahan bersama kesulitan.
            Pagi-pagi benar aku sudah harus sampai kampus untuk menaruh lima kotak yang berisi aneka kue untuk kujual dikantin Fakultas. Tetangga kontrakanku nitip untuk menaruhnya. Lumayan untuk membayar foto kopian modul-modul yang begitu tebal. Semua akhowat dikontrakan juga ikut serta dalam menguatkanku.
            “ Subhanallah, Maha suci Allah Dik yang memberikan Anti masalah sehingga Anti bisa bertahan dan tetap tawakal dan selalu berjalan di jalanNya. Walaupun Ana tidak tahu apa masalah Anti, tapi Ana tahu bahwa Anti mampu melewati ini dengan penuh rasa syukur. Anti tahu bagaimana menjadi seorang generasi muslim yang sesungguhnya? Dia bukanlah yang cengeng ketika masalah datang. Dia bukanlah mengeluh saat masalah kian banyak. Dia bukanlah menyerah saat Allah beri ujian kepadanya, tapi seorang generasi muslim yang sesungguhnya adalah dia yang mampu berlari walaupun untuk berjalan saja tertatih. Dia adalah yang selalu bersyukur saat Allah beri ujian kepadanya. Dia adalah yang selalu berfikir bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan “ papar mbak Arfah
            Betapa teduhnya hati ini mendengar lantunan doanya. Betapa disaat aku sedang ditimpa masalah, seketika itu juga Allah mengirimkan malaikat dunia berupa mbak Arfah dan aku semakin yakin bahwa segala sesuatu pasti ada waktunya,
            Betapa aku kini paham bahwa seandainya Allah tidak mengujiku seperti ini, mungkin aku tidak akan pernah merasakan bagaimana sulitnya hidup, bagaimana kita harus bertahan dimasa-masa sulit. Bagaimana kita harus berpikir jernih dikeruhnya hati kita yang terkadang begitu menyalahkan takdir Allah.
            Tiba-tiba lamunanku terpecah ketika mendengar ponselku berdering. Astaghfirullah, Umi menelpon. Apa yang terjadi selanjutnya? Dadaku bergemuruh hebat. “ Assalamualaikum, sayang.” Sapa Umi hangat.
            “ Waalaikumsalam, Umi. Gimana kabar Abi sama Umi?” tanyaku pelan.
“ Alhamdulillah sayang, hakim memutuskan bahwa Abi tak bersalah. Abi tidak ikut terlibat dengan penyelewengan dana yang mereka tuduhkan. Abi difitnah. Namun atas bantuan teman SMA Abi dulu, akhirnya Abi bebas. Dan Umi telah meminjam uang di bank untuk modal usaha kita. Insya Allah Allah selalu memberi jalan untuk hanbanya yang bersabar. Sayang, Umi minta maaf karena telah membuatmu terlibat susah dalam masalah ini, Umi janji akan mengembalikan keadaan kita seperti semula atas izin Allah karena kita akan selalu bertawakal.”
            “ subhanallah, terima kasih ya Allah! Tidak ada yang salah, Umi. Justru Senja mau berterima kasih bahwa Allah memberikan ujian untuk keluarga kita agar kita lebih tawakal. Mungkin kalau tidak ada masalah ini, Senja tidajk pernah tahu bagaimana harus berjuang senddiri, bertahan dalam keadaan sepahit apaapun itu.”
            Setelah mematikan telponnya, air mataku tak kuasa membanjiri pipiku. Rasa syukur tak henti-hentinya kulantunkan pada Allah, Dzat yang mampu membolak-balikkan hati manusia, dan sungguh untuk meneguhkan keimananku, Allah mengirimkan utusanNya untuk membantuku.
            Sekarang aku makin paham, seperti apa kualitas generasi muslim yang sesungguhnya. Yaitu generasi muslim yang bukan hanya sekedar berterima kasih, tapi juga bersyukur kepada Allah, apapun keadaannya.


3 komentar:

  1. mau komen baik apa "jahat" ? :P

    aku suka awalnya..bagus

    lebih baik lagi kalau endingnya diubah dikiiit..dibikin lebih dramatis gitu..gak sekedar telpon dari Umi yang bikin bahagia..tpi ditambah hal lain..misalnya dia menang lomba..gitu

    keep writing dek :D
    chayoo

    BalasHapus
  2. iya teh makasih yah, tapi pengen dibaca cerpen yang Lima Tahun Yang Lalu teh

    BalasHapus

masukan yang membangun...