Kupandangi rumah elegan dan mewah itu lekat-lekat. Tampak
besar dan luas. Asri tentunya. Tak terasa butir air mata menetes perlahan.
Kuseka menggunakan sapu tangan beludru berwarna biru toska. Ah, betapa semuanya
akan berakhir. Kuhirup udara dalam-dalam seraya menghampiri pembeli rumah tersebut.
“ Saya pamit dulu Bu” ucapku lirih penuh arti seraya
melemparkan senyum seadanya.
“ Mbak yakin akan menjual rumah ini? Saya sangat senang
bisa membeli rumah ini. Tapi sepertinya ada sesuatu yang salah ya?” tanya
pembeli itu ingin tahu. Aku hanya menggeleng ramah dan setelah beberapa saat
kulihat mbok Las membantuku mengeluarkan dua kopor besar. Kuhampiri beliau yang
tertatih-tatih
“ Mbok maaf ya, aku sayang banget sama mbok tapi
keadaannya seperti ini. Aku ga bisa berbuat apa-apa” ucapku lirih sambil
menyeka air mata mbak Las yang kian membanjiri pipinya yang sedikit keriput.
“ Mbok tidak apa-apa kok Non. Bukan soal mbok tidak punya
penghasilan lagi tapi mbok benar-benar terlanjur sayang sama Non. Non Senja
sudah seperti anak Mbok sendiri.” Ucap Mbok Las seraya memeluk diriku. Aku
merasakan kehangatan seorang Ibu. Mbok Las lah yang selama ini menjagaku
seperti anaknya sendiri.
“ Mbok ini ada sedikit uang dari tabungan aku, terima ya
Insya Allah bermanfaat buat keluarga. Salam dari Umi. Katanya Umi minta maaf.”
“ Tidak ada yang salah kok Non. Semua adalah kehendak
Allah yang penting kita sudah berusaha. Salam balik buat Umi sama Abi di
Jakarta. Mbok percaya Abi Non tidak seperti apa yang orang-orang pikirkan. Mbok
mohon pamit karena keretanya sudah mau berangkat. Maaf tidak bisa mengantar Non
Senja kekontrakan yang baru. Assalamualaikum” papar Mbok penuh arti. Hari itu
adalah hari terakhir aku memandang Mbok, pengganti Umi selama aku di Malang,
dan ini juga merupakan awal baru hidupku. Awal dari segala bentuk keadaanku
yang sekarang ini. Tanpa Mbok Las, tanpa rumah nyaman untuk belajar, tanpa
mobil yang selama ini memudahkanku selama di Malang, tanpa segala bentuk
kenyamanan fasilitas lainnya.
Tak ada
yang kusesali dari semua takdir Sang Khalik ini. Sama sekali tidak karena allah
selalu menjanjikan bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Benar-benar bersama.
Bukan setelah kesulitan ada kemudahan. Kuseka air mata pengecutku ini. Kuawali
semangat melangkahkan kakiku menuju kontrakan yang baru walau hati perih.
Segalanya akan baik-baik saja karena Allah selalu bersama hamba yang selalu
bersyukur.
Setelah
sampai dikontrakan, aku melepas lelah dan melepas beban yang menghantui otakku.
Kontrakan yang kutempati sekarang jauh lebih kecil dengan rumahku yang dulu.
Namun aku baru sadar, betapa dikontrakan para akhowat ini kutemui kekeluargaan
yang tak kutemui ketika aku tinggal sendiri. Betapa pertemanan ini bukan karena
kaya atau walaupun miskin, bukan karena cantik atau walaupun buruk, juga bukan
karena pintar atau walaupun bodoh, tapi
karena Allah. Subhanallah, tak ada kata yang jauh leebih indah selain kata
karenaMu. Dan disini kutemukan sahabat yang cintanya melebihi cinta untuk dirinya
sendiri. Sekarang aku baru sadar bahwa inilah kemudahan Allah yang membersamai
segala kesulitan yang Allah uji untukku. Aku selalu merindukan Umi dan Abi di
sana. Betapa mereka sedang berjuang atas ujian terberat yang Allah kasih. Aku
ingin berada disamping mereka. Aku ingin memeluk mereka seraya berkata bahwa
Allah tidak akan pernah menguji hambanya diluar batas kemampuannya tapi apa
daya, aku tak bisa meninggalkan perkuliahan yang benar-benar padat. Ditambah
lagi sebentar lagi akan ujian akhir semester. Satu hal yang bisa kupersembahkan
untuk menguatkan Umi dan Abi di Jakarta, doa dari aku yang tiada pernah
terputus.
Pagi itu
sebelum perkuliahan kusempatkan untuk mampir ke ATM mengambil uang karena
uangku benar-benar telah habis. Betapa terkejutnya aku ketika melihat saldoku
tak mencukupi. Badanku gemetar hebat. Dari kemarin aku belum makan sama sekali,
untungnya ada piket masak dikontrakan. Namun dengan apa aku membayar biaya
kontrakan, makan dan perkuliahan? Berat rasanya kalau harus meminta pada Umi
dan Abi disana sementara mereka sedang dalam kesusahan. Otakku berpikir keras,
namin sia-sia saja. Kekalutan telah menyelimutiku. Tak mungkin aku pasrah pada
keadaan seperti ini. Ya Allah, betapa selama ini aku manja sekali, tidak bisa
berbuat apa-apa selain meminta beasiswa pada Umi dan Abi. Kujatuhkan diriku
pada bangku taman kampus. Akhirnya aku paham harus kemana aku sekarang.
Dengan
dibantu kakak seniorku mengurusi berkas-berkas, akhirnya aku mendapatkan
beasiswa penuh dari pihak rektorat mengingat IPK ku selalu Cum Laude dan
keadaan orang tuaku yang tidak memungkinkan lagi untuk membiayai perkuliahanku
yang lumayan mahal.
Akhirnya
aku bisa sedikit bernafas lega. Setelah cerita panjang lebar dengan
Murabbiyahku tentang apa yang terjadi, akhirnya beliaulah yang bisa meneguhkan
batinku
“ Astaghfirullah, sabar ya Dik, Insya Allah, Allah punya
rencana lain untuk keluarga Anti. Ingat, Inna ma’al ‘usri yusro.” Perkataan
mbak Nina begitu mengena dihatiku. Betapa teduhnya memandang wajah anggun
murabbiyahku ini. Sekarang aku makin yakin bahwa Allah sedang mengujiku, Ia
sedang mengangkat derajatku jika aku bisa melewati ujian ini.
Sore itu
setelah selesai praktikum, aku mendapat tawaran mengajar privat matematika dan
IPA kelas tiga SMA. Gajinya lumayan untuk membiayai kontrakan dan makan
seadanya. Kadang aku disuruh untuk mengisi kajian kemuslimahan setiap hari
jumat dengan imbalan makan siang, benar-benar Allah selalu menjanjikan
kemudahan bersama kesulitan.
Pagi-pagi
benar aku sudah harus sampai kampus untuk menaruh lima kotak yang berisi aneka
kue untuk kujual dikantin Fakultas. Tetangga kontrakanku nitip untuk
menaruhnya. Lumayan untuk membayar foto kopian modul-modul yang begitu tebal.
Semua akhowat dikontrakan juga ikut serta dalam menguatkanku.
“ Subhanallah,
Maha suci Allah Dik yang memberikan Anti masalah sehingga Anti bisa bertahan
dan tetap tawakal dan selalu berjalan di jalanNya. Walaupun Ana tidak tahu apa
masalah Anti, tapi Ana tahu bahwa Anti mampu melewati ini dengan penuh rasa
syukur. Anti tahu bagaimana menjadi seorang generasi muslim yang sesungguhnya?
Dia bukanlah yang cengeng ketika masalah datang. Dia bukanlah mengeluh saat
masalah kian banyak. Dia bukanlah menyerah saat Allah beri ujian kepadanya,
tapi seorang generasi muslim yang sesungguhnya adalah dia yang mampu berlari
walaupun untuk berjalan saja tertatih. Dia adalah yang selalu bersyukur saat
Allah beri ujian kepadanya. Dia adalah yang selalu berfikir bahwa bersama
kesulitan pasti ada kemudahan “ papar mbak Arfah
Betapa
teduhnya hati ini mendengar lantunan doanya. Betapa disaat aku sedang ditimpa
masalah, seketika itu juga Allah mengirimkan malaikat dunia berupa mbak Arfah
dan aku semakin yakin bahwa segala sesuatu pasti ada waktunya,
Betapa
aku kini paham bahwa seandainya Allah tidak mengujiku seperti ini, mungkin aku
tidak akan pernah merasakan bagaimana sulitnya hidup, bagaimana kita harus
bertahan dimasa-masa sulit. Bagaimana kita harus berpikir jernih dikeruhnya
hati kita yang terkadang begitu menyalahkan takdir Allah.
Tiba-tiba
lamunanku terpecah ketika mendengar ponselku berdering. Astaghfirullah, Umi
menelpon. Apa yang terjadi selanjutnya? Dadaku bergemuruh hebat. “
Assalamualaikum, sayang.” Sapa Umi hangat.
“
Waalaikumsalam, Umi. Gimana kabar Abi sama Umi?” tanyaku pelan.
“ Alhamdulillah sayang, hakim memutuskan bahwa Abi tak
bersalah. Abi tidak ikut terlibat dengan penyelewengan dana yang mereka
tuduhkan. Abi difitnah. Namun atas bantuan teman SMA Abi dulu, akhirnya Abi
bebas. Dan Umi telah meminjam uang di bank untuk modal usaha kita. Insya Allah
Allah selalu memberi jalan untuk hanbanya yang bersabar. Sayang, Umi minta maaf
karena telah membuatmu terlibat susah dalam masalah ini, Umi janji akan
mengembalikan keadaan kita seperti semula atas izin Allah karena kita akan selalu
bertawakal.”
“
subhanallah, terima kasih ya Allah! Tidak ada yang salah, Umi. Justru Senja mau
berterima kasih bahwa Allah memberikan ujian untuk keluarga kita agar kita
lebih tawakal. Mungkin kalau tidak ada masalah ini, Senja tidajk pernah tahu
bagaimana harus berjuang senddiri, bertahan dalam keadaan sepahit apaapun itu.”
Setelah
mematikan telponnya, air mataku tak kuasa membanjiri pipiku. Rasa syukur tak
henti-hentinya kulantunkan pada Allah, Dzat yang mampu membolak-balikkan hati
manusia, dan sungguh untuk meneguhkan keimananku, Allah mengirimkan utusanNya
untuk membantuku.
Sekarang
aku makin paham, seperti apa kualitas generasi muslim yang sesungguhnya. Yaitu
generasi muslim yang bukan hanya sekedar berterima kasih, tapi juga bersyukur
kepada Allah, apapun keadaannya.
mau komen baik apa "jahat" ? :P
BalasHapusaku suka awalnya..bagus
lebih baik lagi kalau endingnya diubah dikiiit..dibikin lebih dramatis gitu..gak sekedar telpon dari Umi yang bikin bahagia..tpi ditambah hal lain..misalnya dia menang lomba..gitu
keep writing dek :D
chayoo
iya teh makasih yah, tapi pengen dibaca cerpen yang Lima Tahun Yang Lalu teh
BalasHapussudah..barusan dikomen :D
BalasHapus