Selasa, 09 Oktober 2012

Lima Tahun yang Lalu


Pagi itu langit menggulungkan sang zamrud khatulistiwa. Pagi terburuk yang pernah aku tahu selama ini. Pagi yang menyulam langit menjadi pasir berbeku. Beku itu kita. Bukan mereka yang berjalan menyatukan langkah. Tapi kita yang ingin merubahnya. Kita duduk dalam satu buah papan yang bercat sama, berukir sama banyak, dan dengan jumlah paku yang sama. Kita juga duduk berjejer, aku tak tahu pasti berapa milimeter jarak kita. Kita duduk dengan posisi yang sama persis seperti lima tahun yang lalu. Benar-benar ditempat yang sama. Bahkan jika aku boleh jujur, jumlah rerumputan yang kita injak sama, jumlah bunga yang menyaksikan kita sama dengan jumlah bunga lima tahun yang lalu. Dulu kita masih duduk diatas rumput, hanya rumput. Sekarang agak sedikit berbeda. Aku dan kamu, kini hanya mengulanginya lagi. Lagi-lagi mengulangi. Tidakkah bisa kita sebahagia lima tahun yang lalu? Kamu, masih saja tidak ingin merangkai bunga untukku, juga kata-kata. Aku ingin seperti lima tahun yang lalu, saat kau bernafas, aku mampu merasakan desahannya. Saat kelopak matamu yang atas dan yang bawah bertemu sepersekian detik, aku tahu bahwa hanya ada aku disepersekian detik kelopak matamu bertemu. Aku ingin saat dadamu berdegup, akulah yang menyirkulasi darahmu untuk kembali ke paru-paru dan diedarkan keseluruh tubuh.
            Aku tidak tahu apakah menit berikutnya antara aku dan kamu masih bisa disebut kita. Aku tidak tahu apakah di jeda dua buah paru-parumu masih ada aku disana. Aku bahkan tidak yakin kalau aku mampu meraba kedalaman hatimu yang kian detik kian aku tidak mampu menyelaminya. Bukan karena aku takut kehabisan oksigen. Bukan karena aku takut tenggelam karena tidak membawa pelampung, bukan juga karena aku tidak bisa berenang. Karena tiap menit aku merasa ragu bahwa aku mampu menyelaminya. Izinkan aku mengenang masa lima tahun yang lalu.
            Lima tahun yang lalu, kita mengucapkan mantra. Lima tahun lalu, hanya ada aku disetiap neuron sel otakmu. Hanya ada sentuhan tubuhku disetiap sel-sel kulit epidermismu. Hanya ada rotasi cerita indah disetiap perputaran sentripetal dan sentrifugalmu. Hanya ada rangkaku yang memenuhi setiap ruang dalam organmu. Hanya ada tubuhku yang memenuhi retina matamu. Hanya ada bau segarku disetiap tarikan nafas panjangmu. Hanya ada kebagusanku disetiap gelombangmu. Hanya ada kutubku disetiap kutubmu. Akulah yang selalu kau lihat pertama kali ketika kau membuka mata dari perjalanan panjang mengarungi mimpimu. Akulah yang tidak tahu diri mencium keningmu walau mulut masih bau asam.
            Tak bisakah kita seperti lima tahun yang lalu. Saat bibirmu mengatup dingin penuh misteri, hanya ada sepasang bibirku yang dengan lembut menghampirinya. Tak bisakah kita seperti dulu? Saat kulitku dan kulitmu bertemu dalam suatu aliran tak bermuara namun sangat terasa derasnya? Tak bisakah tubuhku merangkul bidang datar yang kini kurasakan kedinginannya? Tak bisakah wajah nakal kita saling bertemu dalam sebuah terowongan bernama selimut persegi panjang dalam corak dan ukuran yang sama persis?
Tahukah kau bahwa selama lima tahun itu, aku tak pernah ingin menjadi yang terbaik untukmu, hanya berusaha melakukan yang terbaik. Tak juga ingin menjadi yang terdepan dihadapanmu, hanya berusaha maju bersamamu. Tak juga ingin selalu memilikimu, hanya berusaha selalu berbagi denganmu, karena sendiri aku tidak pernah bisa seimbang, tapi bersamamu, menyeimbangkan.
Tak terasa, aku telah bertamasya dalam sebuah dimensi yang sangat jauh. Lima tahun itu jauh, lima tahun itu bukan waktu yang singkat aku untuk mengerti dirimu. Lima tahun aku telah membangun sebuah istana didalam kebahagiaan naluriku. Lima tahun bukan sekedar satu dikali lima maka sama dengan lima. Tak mungkin sesederhana itu. Lima tahun adalah lima dikali banyaknya hari dalam satu tahun. Lalu dikali lagi dengan banyaknya jam pada satu hari, lalu dikalikan lagi dengan banyaknya menit dalam satu jam dan dikalikan lagi banyaknya detik dalam satu menit dan dikalikan lagi dengan milisekon dan dikalikan lagi tiap hela aku menatapmu dengan penuh rasa cinta. Jika dikalkulasi, betapa banyak nafas yang telah kita padukan dan kita buat seirama dalam lima tahun itu. Betapa banyak langkah kita yang telah kita satukan. Namun seketika itu juga kau menyayatnya menjadi partikel-partikel kecil tak bermitokondria. Walau kecil, telah menghancurkan hitungan matematikaku selama lima tahun ini, yang telah melukai epidermis bagian terluar dari kulitku, yang telah merusak sistem perputaran sentripetal perjalanan cinta kita, yang telah membuat gravitasi tidak mampu bekerja layaknya berada dibulan, gunung dan lembah, terjal namun dangkal, itulah perasaanku saat ini. Aku salah selama ini. Salah mendefinisikan cinta. Kufikir cinta adalah bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia walau tanpa kita. Kufikir cinta tak harus memiliki. Ternyata aku harus menangis saat nafas kita tak akan pernah bertemu lagi. Aku harus menangis saat kita tak pernah bertemu dalam hitungan integral. Aku menangis ketika mataku menatap matamu, namun tak pernah ada bayanganku didalam retina matamu seperti dulu. Sekarang kita benar-benar berbeda. Kau yang menginginkan pebedaan itu, bukan aku. Aku tak mungkin mencari pengganti telapak tangan lain untuk mengisi rongga-rongga disetiap sela jemariku kalau bukan telapak tanganmu. Walau kasar, tapi telapak tanganku hanya ingin ditemani telapak tanganmu yang kasar. Aku juga tak mungkin masuk kedalam retina mata lain selain retina matamu. Karena kita satu.
Aku tidak pernah berdusta. Aku mencintaimu, sungguh. Semua yang ada dalam setiap jengkal milimeter tubuhmu. Aku mencintai bau tubuhmu. Aku mencintai desah nafasmu. Aku mencintai keringatmu. Aku mencintai kulit kasarmu. Aku mencintai caramu menyentuhku. Aku mencintai wajah berminyakmu. Aku mencintai senyum kakumu. Aku mencintai jerawatmu. Aku mencintai caramu tertawa. Aku mencintai caramu menciumku. Aku menangis. Sesenggukan.
Aku membuka kelopak mataku dengan berat. Rasanya ribuan tahun aku telah menangis, bengkak. Kuusap kedua mataku dengan sigap. Aku menyapu seluruh kamar, kau tak ada. Pasti kau sedang mandi. Aku tersenyum nakal, bahagia rasanya melihatmu ada. Kubuka pintu kamar mandi, kau rupanya seperti biasa, tak menguncinya dari dalam. Aku masuk. Tapi kran air tak menyala. Pasti kau sudah bangun lebih awal karena hendak pergi ke galeri. Tapi hari ini hari minggu. Biasanya kau pergi ke galeri lebih siang, karena kau ingin bermalas-malasan diranjang bersamaku. Aku mengerti sekarang. Rupanya kau ingin becanda denganku. Aku lekas mandi dan meraih handuk kita berwarna putih tulang. Selesai mandi aku buru-buru berpakaian. Kususuri lorong penghubung antara kamar dan perpustakaan. Tak ada dirimu rupanya. Kusapu taman belakang dengan pandangan lelah, kau juga tak ketemu. Biasanya kita bermain petak umpet dimalam hari. Tapi mengapa pagi-pagi kau mengajakku bermain? Nafasku tersengal, berdegup kencang. Aku bahagia, juga rindu, semuanya menjalar. Aku kembali menuju perpustakaan. Ada secangkir cokelat panas yang sudah tidak panas lagi dan tinggal tiga perempat beserta buku bacaan favoritmu tergeletak berantakan di atas meja baca. Aku merapikannya, ada gambar sketsa kereta api terselip di halaman lima ratus dua puluh tiga. Itu pasti gambarmu. Tiba-tiba darahku mengalir deras. Rasanya dada ini hangat sekali. Aku sadar dimana kamu sekarang. Aku menuju kamar untuk mengganti pakaian. Kuraih rok berwarna merah jambu dengan motif bunga-bunga kecil. Aku mencari kaos berwarna cream, akhirnya ketemu juga. Dengan cepat aku mengambil kunci mobil yang tergeletak diatas meja lampu. Aku berkaca diri. Penampilanku mirip seperti beberapa tahun yang lalu dan baju ini adalah baju yang aku pakai ketika pertama kali kita bertemu. Aku melaju dengan penuh cemas. Aku takut kau sudah pergi. Sesampainya di stasiun aku langsung bertanya pada petugas stasiun.
“ Pak, apa kereta yang ingin berangkat ke Jogja masih ada yang kosong?”
“ Wah, Mbak. Keretanya baru saja berangkat.” Ucap petugas kereta api tersebut.
“ Saya mau masuk Pak. Saya mau ngejar keretanya. Ada suami saya didalam.” Ucapku sesenggukan. Aku tahu dia didalam kereta, tersenyum sambil mengharapkanku untuk mengejar kereta, dan kita duduk bersebelahan sambil mengenang masa indah itu.
            Aku tahu aku tak boleh masuk. Dengan cepat aku mencari pintu keluar dan masuk lewat sana. Tak ada petugas rupanya. Aku masuk dan berlari mengejar kereta itu, tapi semuanya sia-sia. Aku hanya mampu melihat gerbong paling belakang. Aku menangis, pasti. Sesak sekali rasanya. Kau baru saja pergi naik kereta itu. Badanku lemas. Akhirnya aku berusaha berjalan meski sempoyongan.
            Mataku basah lagi. Pasti aku menangis. Aku melayangkan pikiranku. Tempat ini, stasiun ini adalah tempat pertama kali kita bertemu. Dulu, kita duduk bersebelahan. Aku tahu kau sama sekali tak ingin melirikku, tapi akulah yang pertama kali melihatmu, memandangmu, tersenyum sendiri, dan aku tahu waktu itu aku benar-benar jatuh cinta padamu, pada pandangan pertama tepatnya. Ternyata tujuan kita sama, Jogja. Dan ternyata kita satu kampus, satu jurusan dan satu angkatan. Aku benar-benar bahagia. Tuhan itu baik. Dia selalu menakdirkan kita selalu bersama-sama bahkan sampai detik ini. Tapi hari ini kau pergi ke Jogja tanpa aku dan itu tak mungkin kau meninggalkanku sendiri. Aku menghapus air mata, aku tak yakin itu. Aku tersenyum lebar dan kini aku tahu kau dimana. Dengan cepat aku keluar dari stasiun dan merogoh kunci mobil didalam tas. Pagi ini Jakarta benar-benar panas terik, juga macet. Berkali-kali aku mengklakson mobil didepanku yang berjalan lambat. Aku tak inin buang-buang waktu. Aku ingin segera bertemu denganmu, memelukmu dengan erat dan berbisik dengan manja untuk tidak membuatku cemas seperti ini.
            Aku sampai di galeri kita. Aku membuka pintu dengan kunci yang ada didalam tasku. Kosong. Mengapa kau tak ada? Biasanya kita melukis bersama disini. Ternyata masih terdapat dua kanvas tanpa warna yang sudah ada sketsanya. Aku tahu itu sketsa aku dan dirimu. Cat-cat masih berserakan diatas meja. Aku tahu kau baru saja dari sini, hendak melukis tapi kau buru-buru pergi. Aku tahu, aku paham. Biasanya bila kita lelah melukis, kita pergi ke toko es cream seberang galeri. Dengan cepat aku berjalan menuju toko es cream yang letaknya tak jauh dari galeri, diseberang jalan. Aku masuk. Semua pelayan tersenyum padaku tapi tatapan mereka rada aneh, aku tak peduli. Aku mengambil tempat seperti biasanya. Nomor dua dari belakang sebelah pot-pot kecil. Biasanya kita duduk disana. Seorang pelayan wanita muda menghampiriku dan tersenyum
“ Pesen seperti biasanya ya mbak?”
“ Ehm...iya, pesen dua ya mbak seperti biasa. Yang satu caramelnya jangan terlalu banyak dan yang satu-“
“Kacang mete nya dibanyakin” sambung pelayan itu sambil tersenyum lebar.
Aku mengangguk. Tak lama kemudian selang beberapa menit es creamnya tiba. Aku memakannya sedikit-sedikit sambil menunggumu datang. Sampai es creamku habis dan es creammu mencair, kau tak juga datang. Tiba-tiba ponselku berbunyi memecah lamunanku. Kulihat dilayar ponselku. Aku hampir berjingkrak kegirangan. Kufikir namamu yang muncul, ternyata telepon dari Mama. Kubiarkan ponselku hingga tak berdering lagi. Aku masih menunggumu karena seharusnya kita bersama-sama. Tak terasa berjam-jam aku menunggumu disini. Es creamku sudah habis dari tadi. Tapi milikmu belum juga habis, bahkan tak sedikitpun berkurang. Aku lelah. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja karena arlojiku menunjukkan pukul tiga sore.
            Pikiranku tak karuan. Sesampainya dirumah, aku langsung naik keatas menuju kamar tanpa memedulikan orang-orang yang berada dirumahku. Aku naik ketangga setengah berlari menuju kamar. Tapi Mama mengikutiku dari belakang. Aku berhenti dan berteriak sambil menangis “ aku ingin sendiri, Ma. Jangan ganggu aku please!”
Akhirnya Mama kembali kebawah. Kubuka pintu kamar dan kukunci dari dalam. Aku benar-benar ingin sendiri. Kubuka lemari baju pelan-pelan. Pandanganku berhenti pada lemari bagian kanan. Terdapat sebuah gaun yang di plastiki dengan rapi. Kuraih gaun itu lalu kupakai pelan-pelan sambil tubuhku menghadap kedepan cermin. Aku tersenyum malu, tersenyum bahagia. Semuanya begitu indah bila mengingat gaun ini. Pikiranku menerawang tepat lima tahun yang lalu.
Gaun ini berwarna putih. Cantik sekali. Gaun yang begitu biasa, sederhana namun elegan sekali. Berlengan panjang dan terdapat ikatan pita besar dibagian pinggang dan untaian manik-manik dibagian punggungnya serta sedikit pita kecil. Gaun ini adalah gaun turun temurun dari pernikahan Eyang putri dulu, lalu dipakai pada pernikahan Bunda dan gaun itu kini berada ditubuhku. Merupakan suatu kehormatan besar bisa memakai gaun milik keluarga besarmu. Saat bahagia itu jatuh pada tanggal 14 Februari, sehari setelah hari ulang tahunku dan ulang tahunmu. Aku memakai gaun itu dan kau benar-benar berada disebelahku, memegang erat tanganku dan kau memandangku dengan penuh rasa cinta. Kita berjalan menyusuri taman-taman yang rimbun disaksikan ratusan tamu yang hadir mendoakan kita. Saat itu kau berjanji untuk menemani setiap tidur malamku, berjanji untuk menjaga malaikat kecil kita nanti, berjanji untuk membantuku memasak, berjanji untuk tidak membiarkanku menyetir mobil sendiri, berjanji untuk melukis bersama, berjanji untuk mengajariku naik sepeda, berjanji untuk menemaniku berbelanja, berjanji menghapus air mataku.
Aku mengangguk malu. Saat itu kau jadikan aku wanita paling cantik. Wanita paling sempurna dengan segala keterbatasanku. Kehadiranmu merubah segalanya. Walau nafas kita berasal dari hidung yang berbeda, namun detik ini juga, nafas itu berpadu dalam desah dimensi yang satu. Tak mudah membuat langkah ini sama, dan sekarang sama karena terbiasa. Tak mudah mengayunkan tangan dengan irama yang sama, namun sekarang sudah seirama karena terbiasa. Dulu aku tak pernah seimbang bila berjalan, namun semenjak ada dirimu, perjalanan hidupku menjadi seimbang. Dan Tuhan menyaksikannya.
Tiba-tiba tubuhku terjatuh karena lemas. Aku kembali kedalam lamunanku. Tiba-tiba alarm berdering kencang sekali mengalunkan lagu –A thousand years, Christina Perri-. Itu lagu kita berdering kencang. Kulihat layar ponsel menunjukkan tanggal 14 Februari, lima tahun. Aku menuju wastafel dan kucuci wajahku walau air mata terus memaksa untuk keluar. Kuseka dengan handuk kecil dan perlahan kubuka pintu kamar. Pelan-pelan aku turun menyusuri tangga. Semua orang menatapku aneh memakai gaun putih itu. Aku tak peduli. Kulemparkan senyum paling indah dan paling tegar yang pernah aku miliki.
Aku mendekat. Aku tahu sejak tadi kau beada disitu. Kau sedang tidur pulas rupanya. Kau tampan sekali, benar-benar tampan. Kau tahu, hari ini tepat lima tahun pernikahan kita. Dan aku tak sabar ingin merayakannya saat kau bangun nanti dari tidurmu. Seperti biasa, aku selalu memakai gaun ini setiap tanggal 14 Februari, tapi sepertinya ini terakhir kali aku memakainya. Kau tak juga bangun. Kau benar-benar tak ingin memandangku sedikitpun. Kukecup bibirmu dengan lembut sebagai tanda rasa cintaku yang terus mengalir. Kukecup keningmu sebagai rasa terima kasih karena sempat menemaniku walau sebentar. Dan terakhir, kukecup tanganmu sebagai rasa hormat karena telah melengkapi kekuranganku dan mengendalikan kelebihanku.
“ Ken, bisa kita makamkan Ksatria sekarang?” ucap Mama lirih.
Aku mengangguk pelan. Lalu Mama melanjutkan ucapannya “ Kamu ikut?”
Aku menggeleng pelan. Mama mengerti. Aku kembali menaiki tangga. 

4 komentar:

  1. so sweet ^^

    kusuka banget..benar2 gak ketahuan kalo si Ksatria udah mati.kupikir dia pergi

    ini baru cerpen sastra..mengigit

    keep on writing :D

    BalasHapus
  2. wah seneng banget dibilang bagus sama anak sastra huhu

    BalasHapus
  3. emang ambil jurusan education kah di ub?

    BalasHapus
  4. ambil linguistik teh :) gak kuat baca tulisan banyak-banyak hehe

    BalasHapus

masukan yang membangun...