Pagi itu langit menggulungkan sang zamrud khatulistiwa.
Pagi terburuk yang pernah aku tahu selama ini. Pagi yang menyulam langit
menjadi pasir berbeku. Beku itu kita. Bukan mereka yang berjalan menyatukan
langkah. Tapi kita yang ingin merubahnya. Kita duduk dalam satu buah papan yang
bercat sama, berukir sama banyak, dan dengan jumlah paku yang sama. Kita juga
duduk berjejer, aku tak tahu pasti berapa milimeter jarak kita. Kita duduk
dengan posisi yang sama persis seperti lima tahun yang lalu. Benar-benar
ditempat yang sama. Bahkan jika aku boleh jujur, jumlah rerumputan yang kita
injak sama, jumlah bunga yang menyaksikan kita sama dengan jumlah bunga lima
tahun yang lalu. Dulu kita masih duduk diatas rumput, hanya rumput. Sekarang agak
sedikit berbeda. Aku dan kamu, kini hanya mengulanginya lagi. Lagi-lagi mengulangi.
Tidakkah bisa kita sebahagia lima tahun yang lalu? Kamu, masih saja tidak ingin
merangkai bunga untukku, juga kata-kata. Aku ingin seperti lima tahun yang
lalu, saat kau bernafas, aku mampu merasakan desahannya. Saat kelopak matamu
yang atas dan yang bawah bertemu sepersekian detik, aku tahu bahwa hanya ada
aku disepersekian detik kelopak matamu bertemu. Aku ingin saat dadamu berdegup,
akulah yang menyirkulasi darahmu untuk kembali ke paru-paru dan diedarkan
keseluruh tubuh.
Aku
tidak tahu apakah menit berikutnya antara aku dan kamu masih bisa disebut kita.
Aku tidak tahu apakah di jeda dua buah paru-parumu masih ada aku disana. Aku
bahkan tidak yakin kalau aku mampu meraba kedalaman hatimu yang kian detik kian
aku tidak mampu menyelaminya. Bukan karena aku takut kehabisan oksigen. Bukan
karena aku takut tenggelam karena tidak membawa pelampung, bukan juga karena
aku tidak bisa berenang. Karena tiap menit aku merasa ragu bahwa aku mampu
menyelaminya. Izinkan aku mengenang masa lima tahun yang lalu.
Lima
tahun yang lalu, kita mengucapkan mantra. Lima tahun lalu, hanya ada aku
disetiap neuron sel otakmu. Hanya ada sentuhan tubuhku disetiap sel-sel kulit
epidermismu. Hanya ada rotasi cerita indah disetiap perputaran sentripetal dan
sentrifugalmu. Hanya ada rangkaku yang memenuhi setiap ruang dalam organmu.
Hanya ada tubuhku yang memenuhi retina matamu. Hanya ada bau segarku disetiap tarikan
nafas panjangmu. Hanya ada kebagusanku disetiap gelombangmu. Hanya ada kutubku
disetiap kutubmu. Akulah yang selalu kau lihat pertama kali ketika kau membuka
mata dari perjalanan panjang mengarungi mimpimu. Akulah yang tidak tahu diri
mencium keningmu walau mulut masih bau asam.
Tak
bisakah kita seperti lima tahun yang lalu. Saat bibirmu mengatup dingin penuh
misteri, hanya ada sepasang bibirku yang dengan lembut menghampirinya. Tak
bisakah kita seperti dulu? Saat kulitku dan kulitmu bertemu dalam suatu aliran
tak bermuara namun sangat terasa derasnya? Tak bisakah tubuhku merangkul bidang
datar yang kini kurasakan kedinginannya? Tak bisakah wajah nakal kita saling
bertemu dalam sebuah terowongan bernama selimut persegi panjang dalam corak dan
ukuran yang sama persis?
Tahukah kau bahwa selama lima tahun itu, aku
tak pernah ingin menjadi yang
terbaik untukmu, hanya
berusaha melakukan yang terbaik. Tak
juga ingin menjadi yang terdepan dihadapanmu,
hanya berusaha maju bersamamu. Tak juga ingin selalu
memilikimu, hanya
berusaha selalu berbagi denganmu,
karena sendiri aku tidak pernah bisa seimbang, tapi bersamamu, menyeimbangkan.
Tak terasa, aku telah bertamasya dalam sebuah dimensi
yang sangat jauh. Lima tahun itu jauh, lima tahun itu bukan waktu yang singkat
aku untuk mengerti dirimu. Lima tahun aku telah membangun sebuah istana didalam
kebahagiaan naluriku. Lima tahun bukan sekedar satu dikali lima maka sama
dengan lima. Tak mungkin sesederhana itu. Lima tahun adalah lima dikali
banyaknya hari dalam satu tahun. Lalu dikali lagi dengan banyaknya jam pada
satu hari, lalu dikalikan lagi dengan banyaknya menit dalam satu jam dan
dikalikan lagi banyaknya detik dalam satu menit dan dikalikan lagi dengan
milisekon dan dikalikan lagi tiap hela aku menatapmu dengan penuh rasa cinta. Jika
dikalkulasi, betapa banyak nafas yang telah kita padukan dan kita buat seirama
dalam lima tahun itu. Betapa banyak langkah kita yang telah kita satukan. Namun
seketika itu juga kau menyayatnya menjadi partikel-partikel kecil tak
bermitokondria. Walau kecil, telah menghancurkan hitungan matematikaku selama
lima tahun ini, yang telah melukai epidermis bagian terluar dari kulitku, yang
telah merusak sistem perputaran sentripetal perjalanan cinta kita, yang telah
membuat gravitasi tidak mampu bekerja layaknya berada dibulan, gunung dan
lembah, terjal namun dangkal, itulah perasaanku saat ini. Aku salah selama ini.
Salah mendefinisikan cinta. Kufikir cinta adalah bahagia melihat orang yang
kita cintai bahagia walau tanpa kita. Kufikir cinta tak harus memiliki.
Ternyata aku harus menangis saat nafas kita tak akan pernah bertemu lagi. Aku
harus menangis saat kita tak pernah bertemu dalam hitungan integral. Aku
menangis ketika mataku menatap matamu, namun tak pernah ada bayanganku didalam
retina matamu seperti dulu. Sekarang kita benar-benar berbeda. Kau yang
menginginkan pebedaan itu, bukan aku. Aku tak mungkin mencari pengganti telapak
tangan lain untuk mengisi rongga-rongga disetiap sela jemariku kalau bukan
telapak tanganmu. Walau kasar, tapi telapak tanganku hanya ingin ditemani
telapak tanganmu yang kasar. Aku juga tak mungkin masuk kedalam retina mata
lain selain retina matamu. Karena kita satu.
Aku tidak pernah berdusta. Aku mencintaimu, sungguh.
Semua yang ada dalam setiap jengkal milimeter tubuhmu. Aku mencintai bau
tubuhmu. Aku mencintai desah nafasmu. Aku mencintai keringatmu. Aku mencintai
kulit kasarmu. Aku mencintai caramu menyentuhku. Aku mencintai wajah
berminyakmu. Aku mencintai senyum kakumu. Aku mencintai jerawatmu. Aku
mencintai caramu tertawa. Aku mencintai caramu menciumku. Aku menangis.
Sesenggukan.
Aku membuka kelopak mataku dengan berat. Rasanya ribuan
tahun aku telah menangis, bengkak. Kuusap kedua mataku dengan sigap. Aku
menyapu seluruh kamar, kau tak ada. Pasti kau sedang mandi. Aku tersenyum
nakal, bahagia rasanya melihatmu ada. Kubuka pintu kamar mandi, kau rupanya
seperti biasa, tak menguncinya dari dalam. Aku masuk. Tapi kran air tak
menyala. Pasti kau sudah bangun lebih awal karena hendak pergi ke galeri. Tapi
hari ini hari minggu. Biasanya kau pergi ke galeri lebih siang, karena kau
ingin bermalas-malasan diranjang bersamaku. Aku mengerti sekarang. Rupanya kau
ingin becanda denganku. Aku lekas mandi dan meraih handuk kita berwarna putih
tulang. Selesai mandi aku buru-buru berpakaian. Kususuri lorong penghubung
antara kamar dan perpustakaan. Tak ada dirimu rupanya. Kusapu taman belakang
dengan pandangan lelah, kau juga tak ketemu. Biasanya kita bermain petak umpet
dimalam hari. Tapi mengapa pagi-pagi kau mengajakku bermain? Nafasku tersengal,
berdegup kencang. Aku bahagia, juga rindu, semuanya menjalar. Aku kembali
menuju perpustakaan. Ada secangkir cokelat panas yang sudah tidak panas lagi
dan tinggal tiga perempat beserta buku bacaan favoritmu tergeletak berantakan
di atas meja baca. Aku merapikannya, ada gambar sketsa kereta api terselip di
halaman lima ratus dua puluh tiga. Itu pasti gambarmu. Tiba-tiba darahku
mengalir deras. Rasanya dada ini hangat sekali. Aku sadar dimana kamu sekarang.
Aku menuju kamar untuk mengganti pakaian. Kuraih rok berwarna merah jambu
dengan motif bunga-bunga kecil. Aku mencari kaos berwarna cream, akhirnya
ketemu juga. Dengan cepat aku mengambil kunci mobil yang tergeletak diatas meja
lampu. Aku berkaca diri. Penampilanku mirip seperti beberapa tahun yang lalu
dan baju ini adalah baju yang aku pakai ketika pertama kali kita bertemu. Aku melaju
dengan penuh cemas. Aku takut kau sudah pergi. Sesampainya di stasiun aku
langsung bertanya pada petugas stasiun.
“ Pak, apa kereta yang ingin berangkat ke Jogja masih ada
yang kosong?”
“ Wah, Mbak. Keretanya baru saja berangkat.” Ucap petugas
kereta api tersebut.
“ Saya mau masuk Pak. Saya mau ngejar keretanya. Ada
suami saya didalam.” Ucapku sesenggukan. Aku tahu dia didalam kereta, tersenyum
sambil mengharapkanku untuk mengejar kereta, dan kita duduk bersebelahan sambil
mengenang masa indah itu.
Aku tahu
aku tak boleh masuk. Dengan cepat aku mencari pintu keluar dan masuk lewat
sana. Tak ada petugas rupanya. Aku masuk dan berlari mengejar kereta itu, tapi
semuanya sia-sia. Aku hanya mampu melihat gerbong paling belakang. Aku
menangis, pasti. Sesak sekali rasanya. Kau baru saja pergi naik kereta itu.
Badanku lemas. Akhirnya aku berusaha berjalan meski sempoyongan.
Mataku
basah lagi. Pasti aku menangis. Aku melayangkan pikiranku. Tempat ini, stasiun
ini adalah tempat pertama kali kita bertemu. Dulu, kita duduk bersebelahan. Aku
tahu kau sama sekali tak ingin melirikku, tapi akulah yang pertama kali
melihatmu, memandangmu, tersenyum sendiri, dan aku tahu waktu itu aku
benar-benar jatuh cinta padamu, pada pandangan pertama tepatnya. Ternyata
tujuan kita sama, Jogja. Dan ternyata kita satu kampus, satu jurusan dan satu
angkatan. Aku benar-benar bahagia. Tuhan itu baik. Dia selalu menakdirkan kita
selalu bersama-sama bahkan sampai detik ini. Tapi hari ini kau pergi ke Jogja
tanpa aku dan itu tak mungkin kau meninggalkanku sendiri. Aku menghapus air
mata, aku tak yakin itu. Aku tersenyum lebar dan kini aku tahu kau dimana.
Dengan cepat aku keluar dari stasiun dan merogoh kunci mobil didalam tas. Pagi
ini Jakarta benar-benar panas terik, juga macet. Berkali-kali aku mengklakson
mobil didepanku yang berjalan lambat. Aku tak inin buang-buang waktu. Aku ingin
segera bertemu denganmu, memelukmu dengan erat dan berbisik dengan manja untuk
tidak membuatku cemas seperti ini.
Aku
sampai di galeri kita. Aku membuka pintu dengan kunci yang ada didalam tasku.
Kosong. Mengapa kau tak ada? Biasanya kita melukis bersama disini. Ternyata
masih terdapat dua kanvas tanpa warna yang sudah ada sketsanya. Aku tahu itu
sketsa aku dan dirimu. Cat-cat masih berserakan diatas meja. Aku tahu kau baru
saja dari sini, hendak melukis tapi kau buru-buru pergi. Aku tahu, aku paham.
Biasanya bila kita lelah melukis, kita pergi ke toko es cream seberang galeri.
Dengan cepat aku berjalan menuju toko es cream yang letaknya tak jauh dari
galeri, diseberang jalan. Aku masuk. Semua pelayan tersenyum padaku tapi
tatapan mereka rada aneh, aku tak peduli. Aku mengambil tempat seperti
biasanya. Nomor dua dari belakang sebelah pot-pot kecil. Biasanya kita duduk disana.
Seorang pelayan wanita muda menghampiriku dan tersenyum
“ Pesen seperti biasanya ya mbak?”
“ Ehm...iya, pesen dua ya mbak seperti biasa. Yang satu
caramelnya jangan terlalu banyak dan yang satu-“
“Kacang mete nya dibanyakin” sambung pelayan itu sambil
tersenyum lebar.
Aku mengangguk. Tak lama kemudian selang beberapa menit
es creamnya tiba. Aku memakannya sedikit-sedikit sambil menunggumu datang.
Sampai es creamku habis dan es creammu mencair, kau tak juga datang. Tiba-tiba
ponselku berbunyi memecah lamunanku. Kulihat dilayar ponselku. Aku hampir
berjingkrak kegirangan. Kufikir namamu yang muncul, ternyata telepon dari Mama.
Kubiarkan ponselku hingga tak berdering lagi. Aku masih menunggumu karena
seharusnya kita bersama-sama. Tak terasa berjam-jam aku menunggumu disini. Es
creamku sudah habis dari tadi. Tapi milikmu belum juga habis, bahkan tak
sedikitpun berkurang. Aku lelah. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja karena
arlojiku menunjukkan pukul tiga sore.
Pikiranku
tak karuan. Sesampainya dirumah, aku langsung naik keatas menuju kamar tanpa
memedulikan orang-orang yang berada dirumahku. Aku naik ketangga setengah
berlari menuju kamar. Tapi Mama mengikutiku dari belakang. Aku berhenti dan
berteriak sambil menangis “ aku ingin sendiri, Ma. Jangan ganggu aku please!”
Akhirnya Mama kembali kebawah. Kubuka pintu kamar dan
kukunci dari dalam. Aku benar-benar ingin sendiri. Kubuka lemari baju
pelan-pelan. Pandanganku berhenti pada lemari bagian kanan. Terdapat sebuah
gaun yang di plastiki dengan rapi. Kuraih gaun itu lalu kupakai pelan-pelan
sambil tubuhku menghadap kedepan cermin. Aku tersenyum malu, tersenyum bahagia.
Semuanya begitu indah bila mengingat gaun ini. Pikiranku menerawang tepat lima
tahun yang lalu.
Gaun ini berwarna putih. Cantik sekali. Gaun yang begitu
biasa, sederhana namun elegan sekali. Berlengan panjang dan terdapat ikatan
pita besar dibagian pinggang dan untaian manik-manik dibagian punggungnya serta
sedikit pita kecil. Gaun ini adalah gaun turun temurun dari pernikahan Eyang
putri dulu, lalu dipakai pada pernikahan Bunda dan gaun itu kini berada
ditubuhku. Merupakan suatu kehormatan besar bisa memakai gaun milik keluarga
besarmu. Saat bahagia itu jatuh pada tanggal 14 Februari, sehari setelah hari
ulang tahunku dan ulang tahunmu. Aku memakai gaun itu dan kau benar-benar
berada disebelahku, memegang erat tanganku dan kau memandangku dengan penuh
rasa cinta. Kita berjalan menyusuri taman-taman yang rimbun disaksikan ratusan
tamu yang hadir mendoakan kita. Saat itu kau berjanji untuk menemani setiap
tidur malamku, berjanji untuk menjaga malaikat kecil kita nanti, berjanji untuk
membantuku memasak, berjanji untuk tidak membiarkanku menyetir mobil sendiri,
berjanji untuk melukis bersama, berjanji untuk mengajariku naik sepeda,
berjanji untuk menemaniku berbelanja, berjanji menghapus air mataku.
Aku mengangguk malu. Saat itu kau jadikan aku wanita
paling cantik. Wanita paling sempurna dengan segala keterbatasanku. Kehadiranmu
merubah segalanya. Walau nafas kita berasal dari hidung yang berbeda, namun
detik ini juga, nafas itu berpadu dalam desah dimensi yang satu. Tak mudah
membuat langkah ini sama, dan sekarang sama karena terbiasa. Tak mudah
mengayunkan tangan dengan irama yang sama, namun sekarang sudah seirama karena
terbiasa. Dulu aku tak pernah seimbang bila berjalan, namun semenjak ada
dirimu, perjalanan hidupku menjadi seimbang. Dan Tuhan menyaksikannya.
Tiba-tiba tubuhku terjatuh karena lemas. Aku kembali
kedalam lamunanku. Tiba-tiba alarm berdering kencang sekali mengalunkan lagu –A
thousand years, Christina Perri-. Itu lagu kita berdering kencang. Kulihat
layar ponsel menunjukkan tanggal 14 Februari, lima tahun. Aku menuju wastafel
dan kucuci wajahku walau air mata terus memaksa untuk keluar. Kuseka dengan
handuk kecil dan perlahan kubuka pintu kamar. Pelan-pelan aku turun menyusuri
tangga. Semua orang menatapku aneh memakai gaun putih itu. Aku tak peduli.
Kulemparkan senyum paling indah dan paling tegar yang pernah aku miliki.
Aku mendekat. Aku tahu sejak tadi kau beada disitu. Kau sedang
tidur pulas rupanya. Kau tampan sekali, benar-benar tampan. Kau tahu, hari ini
tepat lima tahun pernikahan kita. Dan aku tak sabar ingin merayakannya saat kau
bangun nanti dari tidurmu. Seperti biasa, aku selalu memakai gaun ini setiap
tanggal 14 Februari, tapi sepertinya ini terakhir kali aku memakainya. Kau tak
juga bangun. Kau benar-benar tak ingin memandangku sedikitpun. Kukecup bibirmu
dengan lembut sebagai tanda rasa cintaku yang terus mengalir. Kukecup keningmu
sebagai rasa terima kasih karena sempat menemaniku walau sebentar. Dan
terakhir, kukecup tanganmu sebagai rasa hormat karena telah melengkapi
kekuranganku dan mengendalikan kelebihanku.
“ Ken, bisa kita makamkan Ksatria sekarang?” ucap Mama
lirih.
Aku mengangguk pelan. Lalu Mama melanjutkan ucapannya “
Kamu ikut?”
Aku menggeleng pelan. Mama mengerti. Aku kembali menaiki
tangga.
so sweet ^^
BalasHapuskusuka banget..benar2 gak ketahuan kalo si Ksatria udah mati.kupikir dia pergi
ini baru cerpen sastra..mengigit
keep on writing :D
wah seneng banget dibilang bagus sama anak sastra huhu
BalasHapusemang ambil jurusan education kah di ub?
BalasHapusambil linguistik teh :) gak kuat baca tulisan banyak-banyak hehe
BalasHapus